Oleh Chairil Anwar Korompot*
Inspirasi? Amboi…guru mana yang tidak bangga dikatakan sebagai inspirasi bagi mantan muridnya?
Pikiran saya pun melayang ke masa-masa saya menjalani status sebagai dosen “tenaga abdi” di STKIP Negeri Gorontalo (kini Universitas Negeri Gorontalo atau UNG) 15 tahun silam. Waktu itu STKIP Negeri Gorontalo baru menjalani tahun-tahun awal perubahan statusnya dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Sam Ratulangi Manado. Saya yang ketika itu mengajar di Program Studi Bahasa Inggris Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni menjadi dosen muda pertama dari STKIP Negeri Gorontalo yang memperoleh beasiswa ADCOS dari Australian Agency for International Development (AusAID) untuk memperoleh gelar Master of Arts in Applied Linguistics (by Research) di University of Adelaide, South Australia selama 3 tahun. Untuk ukuran anak muda miskin dari Imandi, Dumoga, yang sehari-sehari tinggal di kos-kosan seharga Rp15 ribu sebulan, ke kampus mengendarai sepeda “Phoenix” buatan Cina dan menerima upah Rp32.500 sebulan, menerima beasiswa itu bagaikan mendapatkan durian runtuh. Setelah lebih 10 tahun berlalu, beasiswa itupun masih saya anggap sebagai sesuatu yang telah mengubah jalan hidup saya selama-lamanya, termasuk cara orang memandang saya sebagai pribadi maupun sebagai profesional.
Karena sesuatu alasan, saya memang tidak kembali ke Gorontalo setelah menyelesaikan pendidikan di Adelaide pada akhir tahun 1999. Baru terungkap dalam beberapa minggu ini bahwa tanpa saya sadari, para mahasiswa saya ternyata menunggu saya kembali waktu itu. Nasib kemudian mengantarkan saya menjadi dosen di Universitas Negeri Makassar (UNM) dan kini mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi ke jenjang PhD di Australia dengan beasiswa Pemerintah Republik Indonesia.
Yang menarik dari cerita ini sebenarnya bukanlah apa yang terjadi pada diri saya. Yang justru jauh lebih menarik adalah bahwa para mantan mahasiswa saya itu adalah putra-putri Gorontalo yang ketika itu nyaris selalu tenggelam dalam bayang-bayang didominasi etnis dan kekuatan tertentu di Provinsi Sulawesi Utara dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk bidang akademik, yang bahkan hingga kini masih sangat kuat, kalau bukan makin kuat, terlebih lagi setelah Gorontalo kemudian menjadi provinsi sendiri.
Terbentuknya STKIP Gorontalo dan selanjutnya Provinsi Gorontalo yang kemudian memungkinkan terbentuknya UNG rupanya telah membuka berbagai peluang, termasuk kesempatan untuk melanjutkan studi ke luar negeri, yang selama puluhan tahun nyaris senantiasa tertutup tidak saja bagi bagi putra-putri Gorontalo, tetapi juga bagi putra-putri Bolaang Mongondow, Sangihe-Talaud, dan etnis-etnis lain di Sulawesi Utara. Para mahasiswa yang dulu sangat penasaran dengan beasiswa yang saya peroleh (dan mengaku terinspirasi oleh saya), kini telah menjadi inspirasi bagi yunior-yunior mereka setelah mereka sendiri juga akhirnya memperoleh kesempatan seperti yang saya peroleh dulu. Ketika mereka kembali ke kampung halaman setelah bermukim minimal 1.5 tahun di luar negeri, merekapun menjadi aset pembangunan daerah yang sangat dahsyat. Sebagai sumberdaya manusia bagi pembangunan daerah, wawasan internasional dan ilmu pengetahuan yang mereka peroleh selama di luar negeri sudah pasti telah memperbaiki pola pikir dan pola tindak mereka dalam kehidupan dan pekerjaan sehari-hari serta menjadi inspirasi bagi orang-orang di sekitar mereka. Yang tidak kalah menariknya adalah bahwa UNG kemudian mendirikan Pusat Pembinaan Bahasa dan Penyiapan Studi Luar Negeri yang pengelolaannya dipercayakan kepada sejumlah mantan mahasiswa saya itu. Jika dikaji dalam konteks pengembangan daerah dengan visi jangka panjang, maka tak bisa disangkal lagi bahwa prestasi putra-putri Gorontalo dan inisiatif UNG tersebut dapat memberi kontribusi yang luar biasa bagi kemajuan daerah dan pengaruhnya dapat dilihat dalam waktu 10-15 tahun ke depan.
Menurut hemat saya, ada sinergi dua faktor dominan yang sangat memungkinkan Gorontalo mencapai tahap ini: terbentuknya Provinsi Gorontalo dan berkembangnya status kelembagaan UNG sebagai perguruan tinggi negeri di daerah. Jadi, jika sebagai putra-putri Bolaang Mongondow kita sering heran mengapa orang Bolaang Mongondow yang belajar di luar negeri dengan beasiswa dapat dihitung dengan jari , maka jawabannya adalah bahwa sinergi yang ada di Gorontalo itu tidak ada di Bolaang Mongondow saat ini. Kalau sinergi itu tidak segera diupayakan, maka menurut estimasi saya, uyo’ bo nanu’ di Bolaang Mongondow harus menunggu paling sedikit 10 tahun lagi baru bisa menikmati apa yang telah dinikmati para uti dan no’u di Gorontalo selama 10 tahun terakhir ini.
*Kandidat PhD University of New England, Armidale, NSW, Australia
E-mail: chanko_70513@hotmail.com