Artikel di Harian Tribun Totabuan, 10-11 September 2008
Pendapat Anthon Mamonto, tokoh masyarakat Bolaang-Mongondow (Bolmong), dalam berita singkat berjudul “Kultur Bolmong Terancam Punah” di Tribun Totabuan edisi 26 Agustus 2008 (hal. 2) sungguh menggugah. Beliau berkata bahwa budaya dan bahasa Bolmong “…perlahan-lahan akan musnah ditelan modernisme. Generasi muda yang menguasai adat, termasuk sejarah dan bahasa Mongondow, bisa dihitung dengan jari.” Pendapat Pak Mamonto itu sedikit-banyak menggambarkan situasi real saat ini dan dapat mewakili keresahan warga Bolmong tentang budaya dan bahasa Bolmong kontemporer. Hampir tiga dekade lalu, laporan penelitian Usup dkk. (1981) sudah menyarankan putra-putri Bolmong untuk lebih peduli terhadap bahasa mereka sendiri. Namun kali ini, pendapat itu patut membangunkan Bolmong dari tidur panjang yang telah membuatnya nyaris lupa akan identitasnya sendiri. Di tengah wacana pembentukan Provinsi Totabuan, masyarakat Bolmong Bersatu seharusnya makin memperkuat kesadaran tentang perlunya pelestarian identitas budaya, bahasa, dan sejarahnya yang unik itu. Usup dkk. (1981) dan penulis-penulis lain sudah mengingatkan bahwa bahasa Bolmong perlu diselamatkan.
Untuk menyelamatkan budaya dan bahasa Bolmong kita memerlukan lebih dari sekadar pernyataan. Provinsi Totabuan memerlukan suatu grand strategy, strategi besar berdimensi luas dan bervisi jauh ke depan, atas seluruh hajat hidup dan sumberdaya Totabuan, termasuk manusia, budaya, bahasa dan sejarahnya. Sayang, saya belum pernah mendengar apa grand strategy Provinsi Totabuan, selain, tentu saja, menciptakan “lowongan kerja” bagi para elit politiknya. Apa lagi jika kita mempertanyakan grand strategy untuk salah satu (kalau bukan satu-satunya) identitas Totabuan yang masih tersisa saat ini, yaitu bahasa Bolmong. Dalam grand strategy itu seharusnya tersurat atau tersirat alasan mengapa, untuk apa, dan untuk siapa provinsi ini hendak didirikan. Dasarnya tentu adalah cita-cita menyejahterakan seluruh rakyat Totabuan yang juga berarti melestarikan bahasa-bahasa yang dalam tulisan ini saya sebut sebagai bahasa Bolmong (mencakup bahasa-bahasa Mongondow, Lolak, Bolang-Uki, Bintauna, Bolang-Itang, dan Kaidipang).
Kita memang tidak memiliki data konkrit tentang seberapa “sakit” bahasa Bolmong saat ini, namun secara kasat mata terlihat bahwa kebanyakan generasi muda Totabuan saat ini telah menjadi penutur asli bahasa Melayu Manado, bukan lagi bahasa Bolmong. Gejala ini juga terjadi pada banyak bahasa etnis di seluruh wilayah Indonesia, kecuali mungkin di wilayah-wilayah yang cukup kuat kulturnya, seperti Minang, Jawa, Sunda, Bali, Bugis, dan Makassar. Harus kita akui bahwa, dari sudut pandang linguistik yang saya tekuni, bahasa Bolmong kini sedang berada pada fase awal language extinction, kepunahan bahasa yang dapat memusnahkan semua warisan budaya dan etnisitas Totabuan. Jika fase itu tidak segera dihentikan, saya khawatir kepunahan bahasa Bolmong akan menjadi keniscayaan dan berubah menjadi ironi dari pendirian Provinsi Totabuan itu sendiri. Melalui tulisan ini saya ingin menyumbangkan gagasan tentang perlunya suatu grand strategy untuk bahasa Bolmong dalam wacana pendirian Provinsi Totabuan. Dalam pandangan saya, pembangunan Provinsi Totabuan secara umum perlu meletakkan isu pelestarian bahasa Bolmong sebagai salah satu prioritas dalam grand strategy-nya.
Langkah awal yang perlu diambil adalah mendirikan jurusan/fakultas bahasa dan sastra Indonesia dan daerah pada perguruan tinggi negeri keguruan yang kabarnya akan didirikan di Totabuan. Tugas utama lembaga ini adalah mencetak akademisi dan praktisi dalam bidang linguistik, pembelajaran bahasa, dan sastra Indonesia dan daerah (termasuk sejarah daerah). Para akademisi bertanggung jawab antara lain atas bahasa dan sastra daerah melalui pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat (Tri Dharma Perguruan Tinggi). Upaya-upaya tersebut perlu diarahkan demi keperluan yang lebih bersifat “ilmu terapan” seperti pendokumentasian bahasa, pembuatan kamus, dan pembelajaran bahasa Bolmong, dan selanjutnya diwujudkan oleh para praktisi, yaitu guru bahasa/sejarah, peneliti, sastrawan, dan penerjemah bahasa Bolmong.
Langkah selanjutnya adalah mendirikan sebuah balai bahasa dengan dukungan pemerintah pusat dan daerah serta di bawah bimbingan para akademisi. Balai bahasa itu bertugas menyediakan pelayanan kepada seluruh lapisan masyarakat dalam bidang bahasa, sastra dan sejarah Bolmong. Balai bahasa selanjutnya bertanggung jawab melaksanakan penelitian, pendokumentasian, penerbitan dan pengelolaan perpustakaan. Sebagai langkah kedua, melalui balai bahasa pula, pemerintah dan masyarakat perlu menyediakan dana hibah dan beasiswa untuk keperluan penelitian bahasa, sastra dan sejarah Bolmong. Salah satu tujuannya adalah mendokumentasikan segala aspek bahasa, sastra dan sejarah daerah agar terbangun koleksi kepustakaan dan database di Totabuan sendiri, yang selanjutnya dapat digunakan untuk keperluan yang lebih luas, termasuk pembelajaran bahasa daerah di sekolah-sekolah. Dalam hal pendokumentasian bahasa, balai bahasa juga perlu mendorong pemerintah/lembaga daerah, pusat dan asing agar mendanai upaya pengumpulan (baca: pengembalian) berbagai bahan bacaan dan hasil penelitian tentang bahasa Bolmong yang tidak begitu besar jumlahnya namun bertebaran di berbagai perpustakaan/lembaga bahasa di daerah-daerah lain di Sulawesi dan Tanah Air, serta di negara-negara lain, terutama Belanda, Australia dan Amerika Serikat. Sebagai langkah ketiga, balai bahasa juga perlu bekerja sama dengan para akademisi, masyarakat, legislator dan pemerintah daerah untuk menggodok produk-produk hukum daerah (legislasi) dalam hal bahasa, sastra dan sejarah daerah. Legislasi itu dapat menetapkan, misalnya, bahwa bahasa Bolmong harus digunakan berdampingan dengan bahasa Indonesia dalam semua dokumen pemerintah daerah, pidato pejabat dan tokoh masyarakat, dan untuk mendampingi nama resmi lembaga pemerintahan dan swasta, jalan, gedung, dan fasilitas umum, serta untuk acara resmi tingkat daerah atau nasional yang dilaksanakan di Totabuan. Di tingkat internasional, cara ini sudah berjalan di Kanada dan Selandia Baru yang multilingual.
Selain langkah-langkah institusional tersebut, Totabuan tentu saja memerlukan masyarakat (generasi muda) yang mencintai dan menggunakan bahasanya dalam berbagai kesempatan, lembaga dan media (musik, tarian, teater, radio, televisi, film, Internet). Diperlukan juga masyarakat Totabuan yang bangga dengan sejarah dan budayanya. Untuk itu, dewan adat yang selama ini masih formalitas perlu diberdayakan di kabupaten/kota agar benar-benar menjadi panutan kultural yang kuat bagi pemerintah dan masyarakat Totabuan. Salah satu tugasnya adalah mendukung upaya pelestarian bahasa, misalnya dengan memberikan penghargaan kepada anggota masyarakat yang berjasa bagi bahasa, sastra dan sejarah Bolmong, dan bukan hanya menganugerahkan gelar adat kepada tetamu agung dan pembesar. Di atas semua ini, grand strategy sebaik apapun untuk bahasa Bolmong hanya akan berhasil jika ada ladang budaya yang cukup subur bagi tumbuh-kembangnya bahasa ini. Artinya, penutur bahasa Bolmong harus mempertahankan tradisi dan praktik kehidupan sehari-hari dalam nuansa budaya dan bahasa Bolmong. Penyelenggara pemerintahan Provinsi Totabuan yang dipilih rakyat nanti juga harus memiliki visi-misi yang terukur dan akuntabel di hadapan rakyat mengenai bagaimana menyelamatkan bahasa Bolmong dari kepunahan.