Tuesday, December 9, 2008

Katamsi Ginano

Tulisan ini juga dimuat dalam blog saya yang lain:
http://chairilanwarkorompot.blogsot.com.

Kemarin malam saya mendapat email yang tidak disangka-sangka dari Katamsi Ginano. Saya terkejut mendapat kabar dari sesama putra Totabuan yang selama ini dikenal karena kegigihannya mengritik perilaku pejabat-pejabat di Bolmong lewat media massa dan dunia maya. Saya dan Katamsi kebetulan pernah sekolah di SMP Negeri I Kotamobagu pada awal tahun '80an dan kuliah di Manado di akhir '80an dan awal '90an. Bedanya, Katamsi di Teknik UNSRAT dan sempat memimpin majalah mahasiswa yang cukup berpengaruh di Unsrat, dan saya di Pendidikan Bahasa dan Seni IKIP Manado dan nyaris tidak dikenal. Bedanya lagi, Katamsi sangat giat menulis di mana-mana dan saya hanya diam-diam terkagum-kagum melihat anak Mongondow yang satu ini mulai menancapkan 'bendera kemongondowannya' dalam sejumlah tulisannya, terutama di Manado Post. Karena urusan kerja dan sekolah di berbagai tempat, saya baru 'bersua' lagi dengan tulisan Katamsi beberapa tahun lalu ketika saya pulang kampung ke Imandi untuk berlebaran Idul Fitri dan sempat membaca edisi-edisi lama Manado Post di rumah orangtua saya.

Tulisan Katamsi sangat bertenaga, tajam, witty, namun tetap cerdas. Referensinya yang luas dan kelugasannya menyorot persoalan-persoalan pelik menunjukkan bakatnya sebagai penulis handal yang argumennya sangat sulit dipatahkan. Memang pada bagian-bagian tertentu tulisannya, Katamsi kadang-kadang agak judgmental dan tanpa sungkan menyematkan 'gelar-gelar' tertentu pada penanggap atau penulis lain yang berseberangan gagasan dengan dia. 'Gelar-gelar' itu mungkin agak keras untuk ukuran orang awam. Tetapi menurut hemat saya, sikap dan name-calling itu didasari oleh daya kritisnya yang meledak-ledak, kecintaannya pada Bolmong dan kepeduliannya pada kemaslahatan orang banyak dan, terutama, pada kebenaran. Untuk ukuran Bolmong, potensi Katamsi tidak ada duanya, apalagi kalau kita mempertimbangkan muatan nilai-nilai filosofis, wawasan global, dan sastra dalam tulisannya. Katamsi adalah salah satu representasi nurani Bolmong yang masih tersisa dan patut dibanggakan.

Walaupun demikian, saya terus terang sedikit berpikir keras ketika mengetahui bahwa Katamsi kini bekerja di PT Newmont MR. Pekerjaan adalah urusan pribadi, tentu saja, tetapi dengan segala hormat dan prasangka baik, saya hanya berharap Katamsi bisa mempertahankan objektivitasnya dalam berpikir, berkata dan menulis di bawah bendera sebuah perusahaan asing kaya-raya yang pernah disidangkan (namun kemudian dinyatakan tidak bersalah) dalam kasus yang 'merugikan' lingkungan dan masyarakat Teluk Buyat di Minahasa Selatan dan Bolmong - yang justru selalu hendak dibela oleh Katamsi.

Saya tahu, kemunginan adanya konspirasi birokrasi, perusahaan pesaing, LSM dan individu pro-lingkungan, media massa plus 'kepolosan' masyarakat lokal bisa menjadi alasan mengapa PT Newmont dimejahijaukan tempo hari. Tetapi potensi pencemaran dari suatu aktivitas pertambangan tidak bisa dinafikan begitu saja. Pertambangan adalah kegiatan ekonomi, dan kita tahu ekonomi bukan teman sejati konservasi.

Katamsi perlu memperhatikan hal penting ini karena seorang Katamsi yang sudah menulis di mana-mana secara kritis itu bukan hanya Katamsi yang kini milik PT Newmont, tapi Katamsi yang telah terlanjur menjadi milik masyarakat intelektual, kaum kritis, dan orang Bolmong kebanyakan. Secara hipotetis saya ingin bertanya: beranikah Katamsi bersikap kritis bahkan kepada majikannya sendiri jika benar-benar limbah (tailing) PT Newmont mencemari lingkungan dan merugikan masyarakat di sekitarnya? Pertanyaan ini saya kemukakan dengan penuh cinta-kasih kepada Ki Utatku Katamsi Ginano.

Saya sering membayangkan suatu saat nanti saya pulang kampung ke Bolmong dan turut mengambil peran dalam mengembangkan perguruan tinggi negeri (PTN) atau minimal PTN keguruan (seperti STKIP atau PGSD) di Bolmong. Saya pengen membina atau terlibat sebagai akademisi dalam studi kebahasaan di PTN itu. Seperti yang sudah saya utarakan dalam tulisan-tulisan saya sebelumnya, saya ingin mengembangkan PTN itu menjadi centre of excellence yang membina calon-calon intelektual dan pemimpin Bolmong yang peduli bukan hanya tentang masalah ekonomi, politik, pertanian, dll, tetapi juga pada budaya Bolmong yang mencakup bahasa, sastra, sejarah, kesenian, masyarakat, agama, tradisi, dan adat-istiadatnya. Dalam hal terakhir ini, saya tidak melihat calon lain dari kalangan non-akademik selain Kak Katamsi Ginano yang dapat dimintai bantuan tenaga, moril, materil dan intelektual untuk mewujudkan mimpi-mimpi itu.

Terus terang, kalau bicara mimpi-mimpi di atas, saya nyaris putus asa. Kabar pembentukan PTN di Bolmong tidak pernah terdengar lagi, dan bahkan keluarga saya di Bolmong mengaku tidak pernah mendengar itu lagi. Mereka bilang, seorang calon walikota Kota Kotamobagu dalam Pilkada baru-baru ini pernah dalam kegiatan kampanyenya mengutarakan niatnya untuk menyumbangkan tanahnya bagi pendirian kampus PTN itu. Tapi karena beliau tidak terpilih, niat itu tidak terwujud dan tidak ada kabarnya lagi. Berita-berita tentang Bolmong di Manado Post dan Harian Komentar (online) kebanyakan hanya berita membosankan tentang politik, pemilu, pilkada, dll. Nyaris tidak ada orang di Bolmong yang serius dengan urusan PTN ini, padahal kalau mau mendirikan Provinsi Totabuan, PTN harus ada juga. Bagaimana mungkin ada provinsi tapi tidak ada PTN-nya? Di mana think tank Bolmong bisa dicetak kalau bukan melalui PTN ini? Ke mana mencari center of excellence dan pools of intellectuals Bolmong kalau bukan ke PTN ini? Bagaimana mungkin kita bisa mencetak guru (yang jumlahnya selalu kurang itu) kalau bukan melalui PTN keguruan? Kalau untuk urusan ini anak-anak Bolmong harus jauh-jauh ke Manado, Gorontalo, Makassar, Yogya, Jakarta, dll, bagaimana kita bisa melahirkan Katamsi-Katamsi baru?